Budaya Hukum Antre

budiman budaya antre

Oleh : BUDIMAN MUHAMMAD
PENYULUH HUKUM MUDA PADA KANWIL KEMENKUMHAM JABAR,
ANGGOTA AKTIF PERKUMPULAN PENYULUH HUKUM JAWA BARAT

 

 BUDAYA HUKUM ANTRE

 Tidak tertibnya individu dalam hal antre seringkali menjadi permasalahan dalam pergaulan hidup di masyarakat. Awal bulan April 2017, masyarakat di Indonesia ramai memperbincangkan dugaan perlakuan rasis dari seorang WNI terhadap WNI lainnya yang berawal dari kesalahpahaman antrean di sebuah Bandara di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Bahkan pada tahun 2008, peristiwa mengerikan pernah terjadi saat masyarakat mengantre untuk mendapatkan zakat di Pasuruan, Jawa Timur yang berujung meninggal dunianya 21 orang pengantre zakat[2] .

‘Antre’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalahberdiri berderet-deret memanjang menunggu untuk mendapat giliran (membeli karcis, mengambil ransum, membeli bensin, dan sebagainya [3].  Secara umum masyarakat mengartikan antre dalam memperoleh atau menghadapi pelayanan publik ataupun hal lainnya adalah individu yang datang lebih duluan berada di bagian depan dan akan mendapat layanan lebih dulu dari yang lainnya. Individu yang datang kemudian akan berada di bagian belakang dan begitu seterusnya.

Antre sebagai budaya hukum

Budaya hukum  adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum . Jadi budaya hukum  menunjukan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum  yang dihayati masyarakat bersangkutan [4]

Perilaku Antre dalam kehidupan bermasyarakat yang telah berlangsung lama dan terdapat sanksi bagi pelanggar antrean (dapat berupa cemoohan, dikucilkan) dapat dikategorikan sebagai hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis). Lebih lanjut  diterangkan R. van Dijk,bahwa hukum kebiasaan adalah komplek peraturan-peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedang apabila orang mencari sumber nyata dari mana peraturan itu berasal, maka hamper senantiasa akan diketemukan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya[5]

Dari sisi peraturan perundang-undangan, Pasal 67 UU RI No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,  menyatakan bahwa :

Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”

Lebih tegasnya bahwa Setiap individu wajib patuh tidak hanya pada hukum tertulis namun juga hukum tidak tertulis. [6]  Perilaku  antre bukanlah sesuatu hal yang perlu ditulis, karena itu sudah menjadi sebuah kewajiban untuk menghargai waktu orang lain. Pada beberapa tempat, terdapat kewajiban antre bagi individu yang dipublikasikan/diumumkan dalam bentuk tertulis di media informasi (seperti spanduk/plang himbauan antre). Pola berperilaku antre telah menjadi budaya hukum di masyarakat indonesia.

Lebih lanjut, masyarakat yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia merupakan masyarakat yang saling memahami dan saling menghormati sesama. Kelihatannya sepele, namun apabila diperhatikan dengan seksama, dalam aktivitas mengantre terlihat setiap individu saling memahami dan saling menghormati antara satu dengan yang lain.

Upaya Mewujudkan Budaya Hukum Antre

Upaya nyata untuk menumbuhkembangkan budaya hukum antre adalah :

1. Mulailah dari individu diri sendiri.

Dengan membiasakan diri untuk antre menunggu giliran untuk mendapat pelayanan publik ataupun hal lainnya, misalkan pegawai antre pada saat melakukan proses presensi di mesin presensi sidik jari. Lebih lanjut yang terpenting adalah belajar manajemen waktu. Jika ingin mengantre paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.

Manajemen waktu ini sangat penting ditanamkan terutama di negara yang masih menganut “waktu karet” (istilah popular lainnya : ‘ngaret’) seperti  Jadwal Apel pagi pegawai telah ditetapkan oleh kantor jam 07.30 WIB, tetapi pegawai hadir jam 08.00 WIB.

2. Perilaku antre harus ditanamkan dan dimulai sejak dini di lingkungan keluarga.

Orangtua sedini mungkin memberikan ‘pencerahan’ kepada anak. Perlu ditanamkan kepada anggota keluarga mengapa harus antre dalam menghadapi pelayanan publik ataupun hal lainnya . Anak belajar bersabar dan menghormati hak orang lain.

3. Perbaikan sistem manajemen  antrean.

Peran pemerintah selaku salah satu stake holder dalam pelayanan publik sangatlah diperlukan, terutama Program Aksi  Nyata untuk mempermudah sistem  antrean. Contohnya : seperti yang telah dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat, Susy, dengan melakukan kunjungan “benchmark” ke Pemerintah Kota Bandung untuk perbaikan pelayanan publik di instansi Kemenkumham Jabar (pelayanan di jajaran Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan dan Imigrasi).[7] Salah satu pembahasan pokok dalam kunjungan tersebut adalah sistem  pelayanan  inovatif berbasis ITyang telah dikembangkan oleh Pemerintah Kota Bandung yaitu : ‘SMS ANTREAN” yang sangat mungkin diterapkan dalam pelayanan pembuatan paspor di Kantor Imigrasi karena dapat mengurangi antrean.

4. Khusus untuk para penyuluh hukum :

Salah satu upaya dalam membangun dan menciptakan budaya hukum masyarakat adalah melalui pendidikan hukum secara umum yang ditujukan kepada seluruh masyarakat dalam bentuk diseminasi dan penyuluhan hukum. Proses edukasi dan Pembudayaan hukum dilakukan terhadap semua lapisan baik penyelenggara negara, aparatur penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya. Pelaksanaan diseminasi dan penyuluhan hukum adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari penerapan asas fiksi hukum yang menyatakan bahwa “setiap orang dianggap tahu hukum”. Penerapan asas fiksi hukum tanpa dukungan sosialisasi hukum yang baik dapat berakibat tidak terlindunginya masyarakat itu sendiri karena masyarakat dapat terjebak dalam pelanggaran yang mungkin dia tidak ketahui dan kehendaki.[8]

Penyuluh hukum dalam setiap memberikan materi  hukum apapun, menyisipkan pesan hukum tentang kewajiban antre. Misalnya dalam memberikan materi di sekolah yang siswanya telah dinobatkan sebagai  Pelajar Sadar Hukum dan HAM serta kepada para Pendidik, harus disampaikan bahwa pendidikan harus mengutamakan pembentukan karakter dan penempaan etika.

 ‘Seperti Di Australia misalnya, jika ada anak yang menolak antrean saat makan siang, menyerobot antrean bus sekolah, tidak jujur dan berbohong tentang PR, dan perilaku yang tidak menghargai hak temannya maka dia dapat dipastikan tidak akan naik kelas . Padahal nilai akademiknya terbilang excellent. Guru/pendidik di Australia lebih khawatir jika siswa tidak pandai mengantre daripada matematika ‘[9].

 


[1] http://www.tribunnews.com/nasional/2017/04/16/sikap-rasis-steven-terhadap-gubernur-ntb-karena-merasa-istimewa diakses tanggal 08 Mei 2017

[2] http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/09/printable/080915_zakatincident.shtml diakses tanggal 08 Mei 2017

[3] http://kbbi.web.id/antre diakses tanggal 08 Mei 2017, istilah antre adalah kata baku dalam bahasa Indonesia, bukan antri

[4] Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia. Alumni. Bandung, 1986

[5] C. Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012, hal. 9

[6] Disimpulkan dari http://www.kompasiana.com/tiasnote/budaya-antri-cerminan-masyarakat-dalam-penegakan-ham_575fc595cd9273c8224434e8  diakses tanggal 08 Mei 2017

[7] http://jabar.tribunnews.com/2017/04/10/kanwil-kemenkumham-jabar-minta-masukan-soal-pelayanan-publik-pada-pemkot-bandung tanggal 08 Mei 2017

[8] Jawardi, Strategi Pengembangan Budaya Hukum, makalah online https://lsc.bphn.go.id/uploads/63367_STRATEGI%20PENGEMBANGAN%20BUDAYA%20HUKUM%20Jawardi.pdf  diakses tanggal 08 Mei 2017

[9] http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/79/membangun-karakter-melalui-budaya-mengantri diakses tanggal 08 Mei 2017 lebih lanjut dijabarkan bahwa : karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.

Penulis mengedit setiap kata “antri” dalam sumber kutipan menjadi kata “antre” sebagai bahasa Indonesia baku

 


Cetak   E-mail