RESTORATIVE JUSTICE BISAKAH JADI PEMECAH MASALAH OVERCROWDING DI LAPAS/RUTAN

RESTORATIVE JUSTICE BISAKAH JADI PEMECAH MASALAH OVERCROWDING DI LAPAS/RUTAN

 websiteArtboard 9

BANDUNG - Fenomena kepadatan penjara di Indonesia sudah terjadi selama bertahun-tahun, mirisnya, meskipun masalah ini sudah disadari terus terjadi, namun hingga saat ini tidak kunjung ada penyelesaian yang pasti. Pembangunan Lapas dan Rutan baru telah dilakukan, namun upaya itu saja tidak cukup untuk membendung banyaknya jumlah narapidana yang masuk ke Lapas setiap harinya.

Untuk mencari solusi dan pemecahannya Direktur Bimkemas dan Pengentasan Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Liberti Sitinjak, bersama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat yang diwakili oleh Kepala Divisi Pemasyarakatan, Taufiqurrahman, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, Heriyanto, dan Kepala Bapas Kelas I Bandung, Bambang Ludiro, melaksanakan Rakor bersama Aparat Penegak Hukum terkait tentang Implementasi Alternatif Pemidanaan dan Keadilan Restoratif bagi Pelaku Dewasa di Kota Bandung, Selasa (15/06/21) di Hotel Horison Bandung.

"Pidana penjara merupakan salah satu pidana pokok yang dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Tahun 1995, terbentuk UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang mengubah paradigma pemenjaraan menjadi pemasyarakatan. Pemenjaraan atau hukuman penjara, meskipun menjadi mekanisme yang penting untuk menghukum pelaku, bukanlah merupakan “obat” untuk mengatasi seluruh masalah kejahatan, khususnya jika dikaitkan dengan upaya untuk mencegah kejahatan atau kebutuhan integrasi sosial pelaku. Pidana penjara justru dinilai telah menunjukkan efek yang kontraproduktif terhadap upaya rehabilitasi dan reintegrasi para pelaku tindak pidana ringan dan pelaku yang merupakan kelompok rentan," tutur Taufiqurrahman.

websiteArtboard 9

Dampak buruk penggunaan pidana penjara semakin besar dengan melihat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang mengalami kelebihan kapasitas penghuni  (overcrowding). Overcrowding terjadi karena semakin tingginya jumlah penghukuman dengan pidana penjara jika dibandingkan dengan kapasitas ruang penjara yang tersedia.

Kondisi saat ini, berdasarkan data SDP (Sistem Database Pemasyarakatan) menunjukan total penghuni Lapas dan Rutan mencapai 262.765 orang narapidana, sementara kapasitas atau daya tampung Lapas dan Rutan hanya sekitar 135.647 orang. Secara data statistik, menunjukan tingkat over kapasitas hunian Lapas dan Rutan mencapai 94%. Pernyataan Menteri Hukum dan HAM RI, Bapak Yasonna H. Laoly, mengungkapkan “Banyak kondisi Lapas kita sangat over kapasitas. Ada Lapas dan Rutan mencapai 300 persen over kapasitasnya”.

"Overcrowding berdampak pada terjadinya berbagai permasalahan serta kurang berhasilnya berbagai program pemasyarakatan. Hal ini misalnya, program pembinaan tidak berjalan dengan baik karena jumlah penghuni terlalu banyak, kerusuhan dan peredaran narkoba di dalam Lapas / Rutan,  penularan penyakit, banyaknya penghuni yang melarikan diri karena perbandingan jumlah penghuni dan petugas pengamanan yang tidak seimbang, membengkaknya anggaran untuk membiayai penghuni Rutan dan Lapas, serta kemungkinan pengulangan tindak pidana (residivisme)".

websiteArtboard 9

"Untuk mengatasi permasalahan ini, Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah berupaya memberikan solusi dengan  membangun lebih banyak lapas/ rutan dan layanan penelitian kemasyarakatan terhadap tersangka anak. Serta pelaksanaan program asimilasi di rumah dalam rangka pencegahan penularan covid-19. Selain itu, diperlukan pula langkah-langkah terobosan (inovasi) dengan mendorong implementasi alternatif pemidanaan  dan keadilan restoratif bagi pelaku dewasa sehingga tidak semua pelaku tindak pidana harus menjalani hukuman di Lapas/ Rutan. Upaya ini tentunya memerlukan dukungan dari berbagai pihak, baik dari unsur aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat secara luas," tegas Liberti Sitinjak.

"Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa penerapan alternatif pemidanaan dan keadilan restoratif bagi anak, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sudah cukup membuahkan hasil yang positif dalam penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan hukum dengan mengedapankan kepentingan terbaik bagi anak. Meskipun dalam praktinya, pasti ada tantangan dan hambatan," lanjutnya.

Penerapan keadilan restoratif bagi pelaku dewasa di Indonesia, sudah mulai bergulir digalakkan baik di tingkat penyidikan kepolisian merujuk pada Surat Edaran Kapolri No. 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, di tingkat penuntutan kejaksaan merujuk pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, di tingkat pemeriksaan pengadilan merujuk pada SK Dirjen Badan Peradilan Umum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

Seperti halnya pada penerapan keadilan restoratif bagi pelaku anak, peran pemasyarakatan dalam penerapan keadilan restoratif bagi pelaku dewasa juga perlu didorong untuk berkontribusi memberikan peningkatan pelayanan pemasyarakatan baik berupa layanan penelitian kemasyarakatan bagi tersangka dewasa yang dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi aparat penegak hukum yang lain. Peran ini termaktub dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

"Peningkatan pelayanan pemasyarakatan dalam implementasi keadilan restoratif ini bertujuan yang pertama untuk menurunkan overcrowded  Lapas dan Rutan, kedua menurunkan residivisme pelaku kejahatan, ketiga menurunkan penumpukan perkara pidana, keempat meningkatkan kualitas pembinaan warga binaan pemasyarakatan, kelima meningkatkan alternatif pemidanaan dan terakhir keenam meningkatkan peran masyarakat dengan melibatkannya dalam agenda pemasyarakatan melalui pembentukan kelompok masyarakat peduli pemasyarakatan," tutup Liberti.

Lalu apa kah itu Restorative Justice??

Menurut Wikipedia Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang ingin mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. Tujuannya adalah untuk saling bercerita mengenai apa yang telah terjadi, membahas siapa yang dirugikan oleh kejahatannya, dan bagaimana mereka bisa bermusyawarah mengenai hal yang harus dilakukan oleh pelaku untuk menebus kejahatannya. Hal yang bisa dilakukan meliputi pemberian ganti rugi kepada korban, permintaan maaf, atau tindakan-tindakan pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Menurut Kuat Puji Prayitno (2012), yang dikutip oleh I Made Tambir (2019) dalam penelitian berjudul "Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Tingkat Penyidikan", restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.

Sementara itu, menurut pakar hukum pidana Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.

Mardjono mengatakan, restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.

websiteArtboard 9

websiteArtboard 9

websiteArtboard 9

websiteArtboard 9

websiteArtboard 9

websiteArtboard 9 

(red/foto: Azis)


Cetak   E-mail