Kemenkumham Jabar Diskusi bersama Mahasiswa UNPAS Bahas KDRT Dalam Dimensi Hukum dan HAM

Kemenkumham Jabar Diskusi bersama Mahasiswa UNPAS Bahas KDRT Dalam Dimensi Hukum dan HAM

Ham 1Ham 2

BANDUNG - Menjadi realitas bahwa fenomena KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menjadi viral ketika kasus ini menimpa kaum selebritis khususnya artis Lesti Kejora bersama suaminya Riski Bilar, yang berujung perdamaian setelah sempat di proses oleh kepolisian dengan melakukan penahanan kepada tersangka. Secara dominan kaum laki-laki lebih banyak melakukan KDRT kepada isterinya, makanya stigma pelaku kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan kaum laki-laki. Dengan adanya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan KDRT, maupun dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi menjadi payung hukum atas perlindungan kekerasan tersebut. Dalam sebuah rumah tangga mesti ada persoalan-persoalan yang bisa menimbulkan perselisihan karena memadukan dua kepribadian yang sangat berbeda dalam sebuah rumah tangga. Pembelajaran dari sisi dimensi lainnya, bahwa pada akhirnya Lesti mencabut laporannya dan berdamai dengan suamianya, meski ini banyak ditentang oleh pejuang HAM dan Perempuan termasuk para pengagung Lesti.
Demikian disampaikan Kepala Bidang HAM Hasbullah Fudail ketika memberi pengantar diskusi Mingguan Bidang HAM – Mahasiswa Unpas dengan Tema “KDRT Dimensi Hukum dan HAM Bercermin Pada Kasus Lesti Kejora” dengan menghadirkan pembicara Cecep Wawan Iriawan (Penyluh Hukum), Elin Rahayu (Penyluh Hukum), Rima Rahmawati (Mahasiswa Unpas), Senin, 24/10/2022 di Ruang Bidang HAM, Kanwil Kemenkumham Jawa Barat,

Menurut Elin Rahayu, bahwa hampir 80% masyarakat Indonesia mengenal UU KDRT karena kasus Lesti tersebut. KDRT adalah setiap perbuatan kekerasan terutama kepada perempuan yang menyebabkan sakit atau penelantaran rumah tangga. KDRT yang menjadi objeknya tidak hanya perempuan, tetapi hampir 75% korbannya perempuan. Lingkup rumah tangga dalam UU tersebut ialah suami, istri, dan anak, dan orang-orang yang mempunyai hubungan dekat (misalnya tinggal 1 rumah), serta ART. Mengapa kasus Lesti dicabut kembali? Ini merupakan cara cerdas menemukan solusinya karena ia sudah umroh dan mencurhatkan isi hatinya kepada Tuhan serta mungkin kecerdasan emosi Lesti sudah bagus. Juga adanya restorative justice, karena Lesti, masyarakat akhirnya mengetahuinya. Walaupun KDRT delik aduan, tetapi disana ada delik biasa.


Sementara Cecep Wawan Perspektif kasus yang menimpa Lesti, memang sangat menarik, karena pelajarannya jika mendapat kegembiraan jangan terlalu gembira, bila mendapat kesusahan jangan terlalu mendramatisir. Yang kedua, jangan terlalu berharap. Meskipun UU No. 23 Tahun 2004 memberi kemudahan bagi perempuan, karena dalam UU lain ada kesusahan tetapi dalam UU PKDRT ada kemudahan yang diberikan penegak hukum dalam penyidikan. Dalam UU PKDRT, dalam aturan pidananya ada beberapa pasal dari 44-49 mengatur tindakan apa saja yang dikenai sanksi pidana dan berapa ancaman hukumannya. Dalam pasal 44 diatur mengenai tindakan seseorang yang melakukan kekerasan dalam lingkup keluarga diancam 5 tahun, belum sampai kekerasan yang mengakibatkan luka berat (10 tahun) sampai meninggal 15 tahun. Perbuatan kekerasan dalam rumah tangga tidak main-main sanksinya.

Selain itu secara psikis diatur dalam pasal selanjutnya, termasuk marital rape (pemerkosaan dalam lingkup suami istri). Secara delik materil, harus ada akibat. Penjelasan pasal berikutnya, dalam pasal-pasal tertentu, perbuatan kekerasan fisik/psikis, apabila akibatnya hanya sekedar yang tidak mengakibatkan istri berhalangan melakukan aktivitas sehari-hari ancaman hukumannya terhitung bulan saja, itu dikecualikan, deliknya pun aduan, demikian Cecep .

Pembicara terakhir Rima menyampaikan bahwa pencabutan laporan berdasarkan pasal 75 KUHP bisa dimungkinkan apabila suatu perbuatan itu delik aduan. Dalam Hukum Pidana ada 2 delik, delik aduan dan biasa. Hal ini merupakan hal basic, delik biasa proses hukumnya bisa diproses tanpa adanya aduan, delik aduan berkebalikan dari delik biasa. Bisa ditinjau siapa pelaku dan apa dampaknya. Delik aduan dalam KDRT ini merupakan suami dan istri, KDRT tidak menimbulkan penyakit dan halangan untuk menghalangi kegiatan korban. Dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, KDRT dapat dijadikan delik biasa dengan indikator seperti apa dampak yang ditimbulkan, biasanya dampak yang ditimbulkan ialah sakit berat hingga meninggal dunia. Pencabutan ini banyak menimbulkan kontroversi, namun ada hikmahnya yaitu menyebabkan rumah tangga menjadi rukun kembali karena salah satu pihak dapat memaafkan, namun menurut masyarakat jika tersangka dibebaskan apakah ia akan berbuat hal serupa atau tidak.

Dani Kusmawan menyoroti KDRT sebagai turunan KUHP diatur dalam Pasal 357 tentang penganiayaan, dalam KUHP termasuk dalam delik biasa, namun pencabutan bisa dilakukan tapi tidak menutup bahwa prosesnya bisa dilanjutkan dan UU KDRT tanpa adanya aduan tidak bisa diproses. PKDRT sulit untuk diterapkan karena menyangkut perasaan pribadi seseorang atau ranah privasi. Adapun penanya Angel menyoroti Lesti sebagai korban ia memilih untuk perdamaian, akhirnya suaminya tidak menjadi tersangka dan hanya wajib lapor. Apakah perdamaian ini menjadi jaminan untuk tidak melakukan hal yang sama? Padahal ada video CCTV sedang mengandung anaknya, ia sudah melempar bola billiard kepada korban. Jadi ini bukan hanya pertama kali. Walaupun ada RJ, harus melihat sisi korban, apakah ada jaminan untuk korban? Apakah keluarga akan kembali harmonis setelah adanya permasalahan?

 

(red/foto : Has)


Cetak   E-mail